DARI berita yang saya dapat, utang Indonesia kini mencapai Rp1.716 triliun. Begitu besarnya sampai-sampai orang akan berpikir dahulu untuk menuliskannya. Jumlah nolnya ada berapa, ya? Saya sendiri tidak berani membulatkan dengan mengatakan utang Indonesia 1.700 triliun agar lebih enak didengar. Satu triliun itu besar, Bung! Pernah melihat uang satu miliar? Jika satu miliar itu seribu juta, maka satu triliun ada satu juta juta.
Data terakhir jumlah penduduk Indonesia 237,6 Juta. Jika utang itu dibebankan pada tiap kepala, berarti jika ingin melunasi utang Indonesia satu orang harus membayar Rp7,222 juta. Jika diangsur selama lima tahun dan asumsi utang tidak bertambah berarti setiap tahun harus membayar 1,44 juta atau tiap harinya membayar Rp4.000.
Jika seandainya penduduk Indonesia berpenghasilan seperti Cristiano Ronaldo, manusia dengan gaji tertinggi di muka bumi yaitu Rp2,1 miliar per minggu atau Rp109,2 miliar per tahun, maka Indonesia hanya membutuhkan 3.145 orang seperti C Ronaldo untuk melunasi utang Indonesia selama lima tahun. Dengan catatan, utang Indonesia tidak bertambah dan uangnya tidak dikorupsi.
Tunggu dulu, sepertinya saya terlalu berkhayal tingkat tinggi..
Mana mungkin orang mau membayar Rp4.000 tiap hari untuk membayar utang negara? Apalagi jika satu keluarga terdiri dari empat warga (misalkan KB) berarti harus membayar Rp16 ribu per hari. Kalaupun mereka mau karena saking cintanya pada Indonesia, mereka belum tentu mampu. Jangankan untuk makan, satu hari mendapatkan uang Rp16 ribu saja susah.
Saya jadi punya ide, bagaimana jika tiap orang mengumpulkan uang seribu rupah saja per hari. Tidak apalah utangnya baru terlunasi selama 20 tahun. Setiap hari mengumpulkan seribu kemudian dikirim ke pusat untuk menyicil utang. Bukannya akan terkumpul Rp237,6 miliar per hari? Banyak banget tuh. Setiap hari selama 20 tahun terus begitu.
Namun saya yakin banyak yang akan ragu. Siapa yang bisa jamin jika uang Rp237,6 miliar bisa utuh. Proses penyaluran pasti akan ada reduksi, bahasa tekniknya: tidak ada yang efisiensinya 100 persen. Apalagi di Indonesia banyak tikus yang suka menggerogoti kantong yang berbau duit. Tikus yang susah diburu, kaburnya ke luar negeri.
Hmm... Bagaimana jika kita anggap negara ini sudah taubat, tidak ada lagi tikus brengsek. Uang itu sebesar itu yang digunakan untuk membayar utang Rp200 miliar saja. Sisanya untuk memberdayakan masyarakat. Bisa untuk membangun industri, mengembangkan peternakan, perkebunan, pertanian, pariwisata, iptek dan sebagainya. Pembangunan diprioritaskan untuk wilayah Indonesia yang kepadatannya masih kecil (selain Jawa & Sumatera). Tak apalah, molor jadi 26 tahun. Nanti kalau sudah lunas, kita sudah punya banyak fasilitas.
Wooi, bangun, woi!! Kamu mimpi ya?
Enggak, saya sedang menghitung-hitung utang Indonesia. Siapa tau ada yang terinspirasi. Kalau memang perhitungan saya banyak yang salah, saya mohon maaf. Karena manusia tempatnya salah dan lupa. Banyak faktor yang belum saya masukkan di sini. Bisa dikatakan yang saya lakukan adalah: PERHITUNGAN BODOH.
Bagaimana bisa negeri yang dikaruniai Tuhan dengan kekayaan alam yang melimpah tapi banyak orang miskin di mana-mana? Seperti tikus yang kelaparan di lumbung padi. Lalu siapa yang memakan padi? Mereka adalah tikus yang tidak punya lumbung padi tapi ingin makan padi.
Saya sepakat dengan kata-kata bang Haji Rhoma Irama: orang yang tidak punya utang, itulah orang yang kaya. Punya utang itu tidak nyaman. Tidak punya kemerdekaan. Mudah diintervensi. Seorang Syuhada (orang yang mati syahid & dijamin masuk surga) tertunda masuk surganya gara-gara masih punya utang yang belum dibayar.
Saya membayangkan Indonesia bisa terbebas dari lilitan utang. China sudah merasakannya, bahkan sekarang menjadi pemberi utang. Semoga saja, saya masih hidup dan bisa merasakan Indonesia tidak punya utang. Mari kita syukuri segala kenikmatan yang dikaruniakan kepada kita. Manfaatkan sebaik mungkin, semaksimal mungkin. Sesuatu yang sulit bukan berarti tidak mungkin.
Taken From :
Ridwan KharisMahasiswa Teknik Mesin
Universitas Gadjah Mada (UGM)(//rfa)